Merebut Teknologi Pendidikan dari Nalar Pragmatis (4)

Reposisi dan Reorientasi Teknologi Pendidikan

Kiranya penjelasan atau upaya penjernihan terhadap bidang kajian dan praksis dari TP di depan sudah dapat menjadi acuan dalam upaya mempertanyakan kembali posisi TIK dalam TP dan arah kajian dan praksis TP. Sebagaimana tujuan awal dari tulisan ini yang ingin memberikan sebuah penegasan pada level praksis, taktis, dan rekomendatif, maka perlu diambil langkah untuk melakukan re-orientasi TP. Setidaknya reposisi dilakukan dalam kasus TIK di dalam TP ini adalah dengan menempatkan TIK sesuai dengan proporsinya, yakni: TIK sebagai bagian dari TP, bukan sebaliknya, baik dalam konsep maupun praktiknya.

Hal yang juga penting adalah: TP jangan sampai didikte oleh pasar, namun juga bukan berarti mengacuhkan pasar sama sekali, lebih dari itu adalah mesti memperhatikan dan membuat sikap menghadapi pasar dengan tetap berpegang pada dasar kajian dan praktik TP yang ideal tersebut, karena terdapat dimensi pedagogi yang tidak boleh disetir oleh pasar. Dengan kata lain, pertimbangannya harus berat pada pendidikan itu sendiri, bukan tren pasar atau yang lain.

Walaupun begitu, satu sikap yang dibuat dalam menghadapi arus pasar yang cenderung memuja-muja TIK adalah dengan terus mempelajari, menguasai, mengimplementasikan dan mengkaji TIK dalam praksis pendidikan, bukan dengan mereduksi kajian dan praksis TP. Perkembangan terkini dari kajian ilmu pendidikan yang lintas-disiplin keilmuan seperti politik pendidikan, sosiologi pendidikan baru (the new sociology of education), munculnya media baru (teknologi digital, internet, dan lainnya) dan kajian kritis yang mengiringinya (new media critical studies) harus mendapat perhatian serius dalam mengkaji TIK dan TP sendiri (Lister, et al, 2009; Apple, 2004; McLaren, 1995). Bahkan secara khusus, perlu dikembangkan ranah kajian yang lebih spesifik dan mendalam mengenai TIK dalam TP. Antara lain mengkaji secara mendalam mengenai new media, cybereducation dan mobile education sampai pada ranah ideologi, dampak psiko-sosialnya, termasuk di antaranya cyberculture dan cyber bullying (lihat Januszewski & Molenda [eds.], 2008: 97-98; Somekh, 2007; Kowalski, et al, 2008).

Di samping itu, pada ranah yang lebih teknis, namun juga tentu tidak kalah penting adalah: perlunya mewacanakan dan memperjuangkan posisi-posisi kerja yang mestinya menjadi bidang garapan dari kajian dan praksis TP dalam pendidikan. Tentu dengan mendasarkan pada ideal TP, di antaranya adalah perlu diperjuangkan bahwa satu sekolah atau jurusan di perguruan tinggi memerlukan minimal satu ahli TP untuk mengkaji, membantu mendesain, memformulasikan dan mengevaluasi kurikulum, media pembelajaran, dan seting pembelajaran; juga merumuskan, mengelola pusat sumber belajar, baik berupa perpustakaan, laboratorium, galeri, sanggar seni, dan lainnya. Tidak hanya pada institusi pendidikan (sekolah, kampus, madrasah, dan lainnya), bahkan di Dinas Pendidikan pun selayaknya memiliki minimal satu ahli TP untuk keperluan peningkatan kualitas internal dan eksternal dalam satu sistem jaringan Dinas Pendidikan dan sekolah-sekolah setempat.

Penutup

TIK sekarang memang sedang jadi tren termasuk dalam ranah kajian dan praksis TP, Mereka yang mendewa-dewakan internet dan jenis TIK lainnya dalam pendidikan seringklai lupa, bahwa terdapat kompleksitas dimensi dari implementasi media pembelajaran dan pendidikan—termasuk TIK tentunya—yang tidak dapat ditangani oleh hanya kemampuan teknis mengoperasikan TIK saja. Kemampuan “pedagogi” diremehkan dengan mengganggapnya sekadar sebagai “cara mengajar” yang tiap orang pasti bisa melakukannya tanpa harus belajar secara akademik. Oleh karena itu, posisi yang harus dijelaskan adalah: (1) karena TIK bagian dari TP dan TP merupakan bagian dari ranah pendidikan, maka pedagogi sangat penting dalam kajian dan praksis TIK dalam TP; (2) seorang guru/dosen yang membelajarkan TIK pada siswa/mahasiswanya tidak sekadar memerlukan penguasaan teknis TIK belaka, lebih dari itu harus dilandasi oleh pedagogi yang kuat.

Pada kenyataannya gerak langkah TP sebagai sebuah kajian dan praksis pendidikan di Indonesia masih belum kokoh, seperti: (1) minimnya formasi/posisi TP di sekolah dan Dinas Pendidikan; (2) masih lemahnya penelitian-penelitian yang mendasar dan betul-betul dapat membangun TP sebagai sebuah kajian dan praksis pendidikan; (3) belum dipahaminya TP secara utuh dan komprehensif bahkan oleh banyak dosen yang mengajar di jurusan TP sendiri. Setidaknya tiga masalah inilah yang menjadi sebab “tergelincirnya” TP pada tataran konseptual dan praksis di jurusan-jurusan TP menjadi sekadar TIK. [ ]

* Edi Subkhan, mahasiswa S2 Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) angkatan 2008. Korespondensi dapat dialamatkan ke email: edi_subkhan@yahoo.com.

 

 

Referensi

  1. Apple, Michael W. (2004). Ideology and Curriculum. 3rd Edition. New York & London: RouledgeFalmer.
  2. Buchori, Mochtar. (1995). Transformasi Pendidikan. Jakarta: Sinar Harapan dan IKIP Muhammadiyah Jakarta Press.
  3. Burton, John K., et al. (1996). ”Behaviorism and Instructional Technology” dalam David H. Jonassen (ed.), Handbook of Research for Educational Communications and Technology. New York: Simon & Schuster Macmillan.
  4. Darmaningtyas, et al. (2009). Tirani Kapital dalam Pendidikan: Menolak Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Jakarta: Pustaka Yashiba & Damar Press.
  5. de Vaney, Ann & Rebecca P. Butler. (1996). “Voices of The Founders: Early Discourses in Educational Technology” dalam David H. Jonassen (ed.), Handbook of Research for Educational Communications and Technology. New York: Simon & Schuster Macmillan.
  6. Drajat. (2010). “Plagiarisme dan Kenaikan Pangkat.” Kompas. Jakarta: 18 Februari.
  7. Freire, Paulo. (1970). Pedagogy of the Opressed. Terj. M.B. Ramos. New York: Continuum.
  8. Giroux, Henry A. (2005). Border Crossing: Cultural Workers and Politics of Education. 2nd Edition. New York & London: Routledge.
  9. Gramsci, Antonio. (1971). Selection from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci. Translation. Quintin Hoare dan Geofrey Nowell Smith. New York: International Publisher.
  10. Januszewski, Alan & Michael Molenda. (1998). Educational Technology: A Definition With Commentary. New York & London: Lawrence Erlbaum Associates.
  11. Kowalski, Robin M., et al. (2008). Cyber Bullying: Bullying in the Digital Age. Blackwell Publishing.
  12. Lincoln, Yvonna S & Egon G. Guba. (1985). Naturalistic Inquiry. London: Sage Publication.
  13. Lister, Martin., et al. (2009). New Media: A Critical Introduction. 2nd Edition. London & New York: Routledge.
  14. McLaren, Peter. (1995). Critical pedagogy and Predatory Culture: Oppositional Politics in a Postmodern era. London & New York: Routledge.
  15. Miarso, Yusufhadi. (2007). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
  16. Semiawan, R. Conny. (2008). Pendekatan Transdisiplinaritas Ilmu dalam Dunia Pendidikan. Paper disampaikan dalam Kongres IPTPI di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Jakarta: 28 Agustus.
  17. Somekh, Bridget. (2007) Pedagogy and Learning With ICT: Researching the Art of Innovation. London & New York: Routledge.
  18. Surakhmad, Winarno. (2009). Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi. Jakarta: Kompas.
  19. Tilaar, H.A.R. (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo.
  20. Tilaar, H.A.R. (2009). Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan, Jakarta: Rineka Cipta.
  21. Torres, Carlos Alberto. (2009). Education and Neoliberal Globalization. New York & London: Routledge.
  22. Yuwono, Suwilan Wisnu Yuwono. (2005). Peran dan Fungsi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK/ICT) dalam Pembelajaran Menuju Masyarakat Informasi. Artikel dismapaikan dalam Seminar Nasional “Peran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TI&K) dalam Pembelajaran Menuju Masyarakat Berbasis Informasi”. Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Semarang (Unnes). Semarang: 17 September.

 

Referensi Media Massa

  1. Jawa Pos. (2009). “Pemeliharaan Alat Harus Jadi Budaya.” Jawa Pos, Radar Yogja. Surabaya: 30 November.
  2. Kompas. (2008). “Penggunaan Multimedia oleh Guru Tidak Bisa Ditunda.” Kompas. Jakarta: 23 Juli.
  3. Media Indonesia. (2009). “Kebiasaan Anak Nonton Televisi Harus Dikurangi.” Media Indonesia. Jakarta: 21 Februari.
  4. Republika. (2007). “Sekolah Tak Bisa Tangkal Situs Porno.” Republika. Jakarta: 28 Desember.
  5. Republika. (2009). “Ada Kesenjangan Digital Antara Guru dan Murid.” Republika. Jakarta: 6 November.
  6. Republika. (2009). “Cara Mudah Menjadi Plagiator.” Republika. Jakarta: 11 Januari.

 

Referensi Internet

  1. Kurikulum. (2010). Teknologi Pendidikan Unnes. Diunduh pada 20 Maret 2010 dari http://teknodik.unnes.ac.id/.
  2. Program Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer Siap Menerima Mahasiswa Baru 2010. (2009). Teknik Elektro Unnes. Diunduh pada 26 Maret 2010 dari http://elektro.unnes.ac.id/.
  3. S1 Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer. (2009). Fakultas Teknik UNJ. Diunduh pada 26 Maret 2010 dari http://ft.unj.ac.id/teknik-elektro/s1-pendidikan-teknik-informatika-komputer/.
  4. Sejarah Singkat. (2007). Kurikulum dan Teknologi Pendidikan. Diunduh pada 20 Maret 2010 dari http://kurtek.upi.edu/e-learning1/?page=sejarah.html.

2 thoughts on “Merebut Teknologi Pendidikan dari Nalar Pragmatis (4)

Tinggalkan komentar